Pambuko Sanggar Kedirian 5 Mei 2017
Sebagian besar diantara kita, sesungguhnya baru berada dalam taraf belajar merasakan, membaca, mendengarkan dan kemudian mengutarakan pandangan atau pendapat, baik di dunia nyata ataupun di ranah dunia maya. Karena baru berada pada taraf itu, sebenarnya wajar kalau adakalanya masih saja gagap. Termasuk gagap dalam menghadapi beda pandangan atau pendapat lain pihak.
Yang sungguh diharap adalah “ya mugo-mugo wae kita semua memiliki cukup kesadaran untuk tak bethenti sinau dan berani serta tak malas memasuki ruang-ruang yang menyimpan aneka pandangan ataupun pendapat yang bisa saja berlainan dengan pandangan ataupun pendapat kita”.
TAHU DIRI
Alloh berada di dalam diri kita, atau kita berada berada di dalamNya? “Man arafa nafsahu, arafa robbahu” yang artinya, “Siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya. Dengan menafsirkan-Nya dimungkinkan ada alasan untuk kemudian ‘mengenal’, entah dengan cara ‘berenang’ atau ‘tenggelam’ dalam ke Maha Luas tak terbatasnya Alloh. Keduanya sama-sama berada dalam keluasan, namun tenggelam dikendalikan oleh air dengan sempurna, tetapi berenang dikendalikan oleh diri sendiri. Pada batasan siapa yang mengenali dirinya, maka ia akan tahu Tuhannya, melahirkan pemahaman bahwa orang yang tidak mengetahui jika Tuhan itu ada dan nyata, mereka tergolong orang kufur. Demikian juga jika seseorang berkata bahwa ia melihat Tuhan dengan nyata, maka ia juga orang munafik. Tuhan bukan jagat raya ini, semesta raya hanyalah bagian kecil dari cipratan kreatifitas penciptaanNya.
DEGRADASI NILAI
Posisi “koordinat” Al-Islam dan As-Silmu dalam Surat Al-Baqarah [2:208] “Udkhuluu fissilmi kaaffah” kerap diterjemahkan, “Masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan.” Yang patut dicermati pada ayat tersebut adalah mengapa digunakan kata As-Silmu, bukan Al-Islam? Apakah Nilai-nilai Islam itu, harus kita masuki secara totalitas? Tapi, apa mungkin kita yang sarat kelemahan dan keterbatasan ini bisa memasukinya secara total dan utuh? Ada dua sudut pandang untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, memasuki silmu secara total atau kaffah bisa diupayakan secara teoritis (al-‘ilmu). “Ittaqullaaha haqqa tuqaatih” (QS. Ali Imron: 102). Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Surat ini bekerja dalam lingkup dan konteks teoritis keilmuan.
Setiap orang sejatinya akan dan sedang berjuang untuk menemukan lalu menyelami nilai-nilai As-silmu sesuai thariqah dirinya yang paling aktual. Untuk itu diperlukan kepekaan mememukan As-silmu dalam setiap kegiatan yang dijalani.
Monggo melingkar bersama dengan Totalitas prncarian As-silmu dalam rutinan Sanggar Kedirian yang akan digelar pada 5 Mei 2017 di Gedung GNI, Kota Kediri. Turut hadir Pak Bustanul ‘Arifin sebagai pauger keilmuan dan Kanjeng Kustik sebagai penyegar di tengah-tengah diskusi yang berlangsung.
0 komentar:
Posting Komentar