Rutinan kali ini mengambil tema “Pejalan Kamardikan”, tema kemerdekaan yang notabene sudah telat mengingat acara ini diselenggarakan pada bulan September. Namun, pertimbangan ini malah menjadikan kita lebih mencari lagi arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Bukan hanya kemerdekan dalam arti sempit yang biasa dirayakan setiap bulan Agustus.
Momen kemerdekaan semestinya merupakan momen sakral, muhasabah, taqarrub, tasyakur. Perlu mencari bagaimana seharusnya menghayati kemerdekaan jika melihat tren yang terjadi sekarang mengarah kepada perayaan semata. Mensyukuri kemerdekaan diartikan menyelenggarakan acara-acara yang kurang mengandung nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri.
Kemerdekaan yang sebenarnya ialah mengerti tentang batas, bukan malah sebebas-bebasnya. Tidak berbuat seenaknya. Membuat nyaman orang di sekitar. Membuat orang lain merasa merdeka. Kemerdekaan itulah yang merupakan rahmatan lil ‘alamin.
Martabat manusia juga mesti dijaga. Memanusiakan manusia memang selayaknya dilakukan. Tidak merendahkan martabatnya. Menganggap harga diri manusia lebih rendah daripada binatang. Menghargainya dengan nilai materiil. Perilaku itulah yang membuat manusia turun derajat menjadi binatang dan sudah barang tentu bukan ciri manusia merdeka.
“Merdeka itu memanusiakan manusia. Lebih baik tidak berbuat apa-apa daripada mengganggu dan menghilangkan martabat orang lain sebagai manusia.”Ulasan salah satu jamaah menanggapi banyaknya fenomena pimpinan perusahaan sering berbuat semena-mena terhadap bawahannya.
Bukan main senangnya ketika menang melawan orang lain dan tak tahu bahwa kemenangan sejati ialah melawan dirinya sendiri. Melawan diri sendiri dari hawa nafsu. Sifat keserakahan yang selalu menggoda. Kemerdekaan sejati ialah menang melawan hawa nafsu.
Sudah saatnya mengisi kemerdekaan ini dengan saling bekerja sama. Saling mengisi satu sama lain. Tidak saling iri, menghujat, adu kemenangan satu sama lain. Saling menyadari kesalahan sendiri musti ditumbuhkan lagi. Gotong royong menjadi perilaku wajib sehari-hari.
“Kun Kalyadaini wala takun kal udzunaini. Dalam hal sinergitas kerjasama jadilah seperti dua tangan yang mempunyai tugas masing-masing dan saling mengisi, bukan seperti dua telinga ketika dipakaikan anting, saling iri ketika hanya salah satu yang memakai. Bojo bukan tentang konco turu. Bojo dibahasakan sisihan yang berarti punya deskripsi kerja yang berbeda dan bisa selaras. Seperti sepasang sandal yang justru mempunyai bentuk berbeda bisa dipakai di kaki dan menciptakan keselarasan. Akan merasa sisihan jika salah satu sandal hilang.” Pesan Yai Bustanul ‘Arifin menjelang ditutupnya acara.
Kang Fajar selaku moderator menutup acara dengan mengutip satu pesan dari Buya Hamka, ”Kalau tuhan tidak menjadikan perhambaan dan perbudakan, tentu tidak akan timbul keinginan hendak mengejar kemerdekaan. Memang kalau tiada kesakitan, orang tidak mempunyai keinginan untuk mengejar kesenangan. Oleh itu tidak keterlaluan jika dikatakan bahawa sakit dan pedih adalah tangga menuju kejayaan.” (Redaksi Sanggar Kedirian)