Reportase Rutinan Sanggar Kedirian 21 Desember 2018
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
(Puisi Hujan di Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)
Barangkali puisi tersebut sudah tidak asing lagi. Namun hanya sedikit yang tahu bahwa sebelum puisi tersebut lahir, dalam benak Sapardi-yang saat itu baru saja mengalami fenomena hujan salah mongso-timbul pertanyaan, kenapa hujan mesti repot-repot datang di bulan Juni yang merupakan puncak kemarau?
Jika dari pertanyaan tersebut kemudian lahir puisi Hujan di Bulan Juni, itu hak Sapardi sebagai seorang penyair. Beda cerita dengan Mbah Nun. Beliau tidak bisa diidentifikasi sebagai penyair saja. Wajar jika kemudian, saat menyinggung fenomena salah mongso, menurut beliau hal itu terjadi karena ada yang sedang berubah pada diri manusia.
Sebab manusia adalah ciptaan Allah adalah saudara muda dari alam adalah termasuk bagian dari alam. Otomatis setiap perilaku manusia akan berdampak pada lingkungan sekitar. Pernah mendengar cerita tentang alat kelamin yang mengalami keanehan setelah kencing sembarangan itu salah satu contohnya.
***
Pada malam Sabtu Legi bulan Desember yang lalu sedulur-sedulur Sanggar Kedirian melingkar bersama di pelataran mushola GNI. Adapun tema rutinan malam itu ialah Angon Mongso. Menurut mas Andri, fenomena salah mongso-dalam artian luas-yang semakin banyak ini menuntut kita untuk meng-angon-nya. Sebab manusia adalah khalifatul fil ardh maka seharusnya kesadaran itu ditanam dalam diri kita, begitu menurut mas Tri Santoso.
Nah, bagaimana caranya? Salah satunya dengan metode rumah kaca. Bahasa mudahnya, ndandadi, atau meminjam bahasanya Cak Adnan membuat ‘cuaca’, di sekitar kita dahulu agar menjadi lebih baik. Bisa dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga kiri-kanan, teman-teman terdekat dan lingkungan sekitar.
Makdhe Budi Giren, mbah Meikel Ibrahim dan mas Sigit kemudian mengingatkan agar selalu berhati-berhati dan waspada dalam mengambil tindakan. Pun, mas Habib juga menggarisbawahi tentang kesadaran sebagai makhluk Allah, yang diciptakan jauh setelah alam dibuat, benar-benar terpatri dalam diri kita. Supaya kejadian salah mangsane umat-umat terdahulu tidak terjadi lagi.
Mbah Bustanul Arifin kemudian mengisahkan tentang umat-umat terdahulu; pengendalian diri umat Nabi Nuh ketika di terombang-ambing di atas kapal; penyebab kehancuran umat Nabi Hud dan Nabi Sholeh; pembangunan kembali ketauhidan pada masa Nabi Ibrahim yang kemudian disempurnakan oleh keturunannya yaitu Kanjeng Nabi Muhammad.
Semua kisah yang telah dipaparkan oleh mbah Bustanul Arifin tersebut tak lain agar menjadi cerminan bagi diri kita masing-masing. Sudahkah kita lebih baik, lebih arif, dan lebih bijak daripada hujan di bulan Juni?
0 komentar:
Posting Komentar